Hukum Mengambil Uang Di Dompet Suami Tanpa Izin
Kamis, 13 Februari 2020
Edit
Tanya: Bolehkah seorang istri mencuri harta suaminya? Misal ketika suami pelit dalam hal nafkah. Istri akhirnya mengambil uang dari dompet suami diam-diam.
Jawab: Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Hindun binti ‘Utbah, istri dari Abu Sufyan, telah datang berjumpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan itu orang yang sangat pelit. Ia tidak memberi kepadaku nafkah yang mencukupi dan mencukupi anak-anakku sehingga membuatku mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah berdosa jika aku melakukan seperti itu?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خُذِى مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِى بَنِيكِ
“Ambillah dari hartanya apa yang mencukupi anak-anakmu dengan cara yang patut.” (HR. Bukhari, no. 5364; Muslim, no. 1714)
Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan bahwa mengambil dengan cara yang ma’ruf, maksudnya adalah sesuai kadar yang dibutuhkan secara ‘urf (menurut kebiasaan setempat). (Fath Al-Bari, 9: 509)
Perlu dipahami bahwa sifat yang disebut Hindun pada suaminya Abu Sufyan, bahwa suaminya itu pelit, bukan berarti suaminya memang orang yang pelit pada siapa saja. Bisa jadi ia bersikap seperti itu pada keluarganya, namun ada barangkali yang lebih membutuhkan sehingga ia dahulukan. Jadi, kurang tepat kalau menganggap Abu Sufyan adalah orang yang pelit secara mutlak. Demikian tutur Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah dalam Minhah Al-‘Allam, 8: 159.
Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas:
1. Hadits di atas menunjukkan akan wajibnya nafkah seorang suami pada istrinya. Bahkan hal ini menjadi ijma’ (kesepakatan para ulama).
2. Hadits di atas juga menunjukkan seorang ayah wajib memberi nafkah pada anaknya. Kewajiban nafkah ini ada selama anak tersebut:
(a) masih kecil,
(b) baligh namun dalam keadaan sakit atau masih belum mampu mencari nafkah.
Jika anak tersebut sudah baligh dan sudah mampu dalam mencari nafkah, maka gugurlah kewajiban nafkah dari ayah.
Namun hadits Hindun ini menunjukkan bahwa kewajiban nafkah seorang ayah adalah secara mutlak selama anak-anak itu dalam keadaan fakir. Ia wajib memberi nafkah pada mereka, tidak memandang di sini apakah mereka telah baligh atau sudah dalam keadaan kuat (mencari nafkah).
3. Jika ada suami yang punya kewajiban memberi nafkah pada istri lantas tidak diberi karena sifat pelitnya, maka istri boleh mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya. Karena nafkah pada istri itu wajib.
Para ulama juga mengglobalkan hal ini, bukan hanya perihal nafkah. Juga termasuk hal lainnya yang ada di situ kewajiban memberi, namun tidak dipenuhi dengan baik.
Berarti hal ini tidak berlaku jika nafkah istri terpenuhi dengan baik.
4. Besar nafkah yang dianggap dan mencukupi itu seperti apa, ini tergantung pada tempat dan waktu.
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah berkata, “Yang tepat dan lebih benar sebagaimana yang dinyatakan oleh kebanyakan ulama (baca: jumhur) bahwa nafkah suami pada istri kembali pada kebiasaan masyarakat (kembali pada ‘urf) dan tidak ada besaran tertentu yang ditetapkan oleh syari’at. Nafkah itu berbeda sesuai dengan perbedaan tempat, zaman, keadaan suami istri dan adat yang ada.” (Majmu’ Al-Fatawa, 34: 83)
5. Kalau melihat dari pandangan ulama Hanafiyah, hadits ini menunjukkan bahwa yang dijadikan standar besarnya nafkah adalah apa yang dirasa cukup oleh istri. Karena dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada Hindun, silakan ambil harta suaminya yang mencukupinya.
Namun yang paling bagus kita katakan bahwa besarnya nafkah itu dilihat dari kemampuan suami dan kecukupan istri, yaitu memandang dua belah pihak.
Disebutkan dalam ayat,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” (QS. Ath Tholaq: 7).
عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ
“Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula).” (QS. Al-Baqarah: 236).
Dikompromikan dengan hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berkata pada Hindun,
خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya.” (HR. Bukhari, no. 5364).
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa yang jadi patokan dalam hal nafkah:
Mencukupi istri dan anak dengan baik, ini berbeda tergantung keadaan, tempat dan zaman.
Dilihat dari kemampuan suami, apakah ia termasuk orang yang dilapangkan dalam rizki ataukah tidak.
6. Jika istri masih mampu mendapatkan kecukupan dari harta suami (meskipun nantinya ia mengambil diam-diam), maka tidak boleh menuntut untuk pisah (cerai). Jadi cerai bukanlah jalan keluar dari sulitnya nafkah.
7. Jika seorang istri mengadukan suaminya demi meminta nasihat seperti yang dilakukan oleh Hindun, itu tidak termasuk ghibah
8. Boleh mendengar perkataan dari wanita bukan mahram ketika ia sedang membutuhkan fatwa atau penjelasan dalam masalah hukum. Hal ini dengan syarat selama aman dari fitnah (godaan) dan tidak dengan suara yang mendayu-dayu. Seperti misalnya, masih boleh menerima telepon dari pria selama tidak ada godaan dan tidak dengan suara mendayu-dayu.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 32)
Semoga bermanfaat.
Sumber: Rumaysho/ruangmuslimah.co