Suami Boleh Tidak Menafkahi Keluarga, Ini Penyebabnya!
Minggu, 08 Maret 2020
Edit
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, di mana seorang suami berkewajiban untuk memberikan nafkah kepada istrinya (baca: Kewajiban Suami terhadap Istri). Sebagai seorang suami, ia merupakan kepala rumah tangga, wajib mengatur dan mengarahkan keluarganya pada jalan kebenaran. Peran sebagai pemimpin berada di tangannya. Sebagai seorang pemimpin, selain mengarahkan kepada jalan kebenaran, ia wajib mensejahterakan yang dipimpinnya berupa nafkah.
Terhadap istri, kewajiban nafkah ini meliputi nafkah lahir dan batin. Kewajiban suami menafkahi istri dijelaskan Allah Swt dalam firman-Nya dalam Alquran surah al-Baqarah [2]: 233,
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا
“Dan kewajiban ayah (suami) memberi makan dan pakaian kepada para ibu (istri) dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.’’
Serta dalam hadis Rasulullah saw bersabda: “Dan mereka (para istri) mempunyai hak diberi rezeki dan pakaian (nafkah) yang diwajibkan atas kamu sekalian (wahai para suami).’’ (HR Muslim)
Allah Swt telah memerintahkan suami untuk menafkahi istrinya. Apabila suami tidak melakukan kewajibannya itu, maka sudah pasti hukumnya dosa. Terlebih lagi jika suami tidak mau bekerja dengan alasan malas. Ia tidak berusaha dan mengandalkan kekayaan si istri, sungguh tindakan ini adalah tindakan tercela. Bagaimanapun juga istri telah melayani suaminya (seperti mencuci pakaian, memasak, dan sebagainya), lalu bagaimana bisa suami tersebut menikmati layanan itu tanpa memberikan nafkah?
Allah berfirman dalam surah al-Nisa’ [4]: 34,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”
Sebelum menikah, tanggung jawab wanita ada pada orang tuanya. Namun setelah ia menikah, seluruh tanggung jawabnya beralih ke suami. Seorang suami adalah pemimpin bagi istrinya. Maka itu, sudah selayaknya ia melindungi istrinya dengan cara menyayangi, menjaga dan termasuk menafkahi. Memberi uang belanja (uang makan), membelikan pakaian serta kebutuhan pokok lainnya sesuai kesanggupan. Apabila suami tidak memenuhi tanggungan tersebut, maka ia pun berdosa.
Tentu ancaman bagi suami yang tidak memberikan nafkah kepada istri dan keluarganya itu diperingatkan oleh Allah dan Rasul untuk kebaikan dan mengangkat derajat wanita. Pemberian nafkah ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Sehingga kesejahteraan bisa tercapai. Hanya saja, dalam kondisi-kondisi tertentu, bisa saja kewajiban memberi terhenti. Berikut hal-hal yang bisa membuat suami tidak bisa memberikan nafkah kepada istri dan keluarganya:
Pertama, nafkah terhadap istri dihentikan jika istri membangkang, atau tidak mengizinkan suami menggaulinya. Karena nafkah adalah konpensasi menikmatinya. Jadi jika suami tidak dapat menikmatinya, maka otomatis nafkah terhadapnya menjadi terhenti.
Kedua, nafkah terhadap wanita yang ditalak dengan talak raj’i dihentikan jika masa iddahnya telah habis. Karena dengan selesainya wanita tersebut menjalani masa iddah, maka ia menjadi orang lain bagi suaminya.
Ketiga, nafkah terhadap wanita hamil dihentikan jika ia telah melahirkan bayinya, namun jika menyusui anaknya, maka ia berhak mendapatkan upah atas susuannya. Karena Allah berfirman, “Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) untuk kalian, maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kalian dengan baik.” (QS at-Thalaq: 6)
Keempat, nafkah terhadap orang tua dihentikan jika orang tuanya telah kaya, atau ia (anaknya) jatuh miskin dalam arti tidak mempunyai sisa uang dari makanan sehari-harinya. Karena Allah Swt tidak membebani seseorang kecuali dengan apa yang Dia berikan kepadanya.
Kelima, nafkah terhadap anak laki-laki dihentikan jika telah balig dan nafkah terhadap anak perempuan dihentikan jika telah menikah. Namun, dikecualikan jika anak laki-laki yang telah balig itu menderita sakit atau gila, maka nafkah terhadapnya tetap menjadi tanggungan ayahnya.
Sumber :bincangsyariah.com