Suami Tak Memberi Nafkah, Apa Masih Wajib Taat Padanya?
Minggu, 16 Februari 2020
Edit
Pertanyaan: Jika seorang suami tidak menjalankan kewajibannya, seperti tidak memberi nafkah, apakah tetap wajib bagi sang istri untuk taat kepada suami?
Jawaban: Jika seorang suami tidak memberikan nafkah kepada istrinya maka istrinya berhak memilih diantara perkara-perkara di bawah ini
Pertama: Ia memilih untuk berpisah dari suaminya dengan membatalkan akad pernikahan. Ibnu Qudamah berkata :
أَنَّ الرَّجُلَ إذَا مَنَعَ امْرَأَتَهُ النَّفَقَةَ، لِعُسْرَتِهِ، وَعَدَمِ مَا يُنْفِقُهُ، فَالْمَرْأَةُ مُخَيَّرَةٌ بَيْنَ الصَّبْرِ عَلَيْهِ، وَبَيْنَ فِرَاقِهِ
“Sesungguhnya seorang suami jika tidak memberi nafkah kepada istrinya karena ketidak mampuannya dan ia tidak mendapati apa yang bisa ia nafkahkan, maka sang istri berhak memilih antara sabar terhadap suami atau berpisah darinya” (al-Mughni 8/204)
Kedua: Jika sang istri memilih untuk sabar hidup bersama sang suami maka sang istri berada di atas dua pilihan lagi:
1. Ia tetap mentaati suaminya dengan tetap menyerahkan dirinya kepada suaminya jika suaminya hendak menggaulinya. Maka dalam hal ini kondisi suami adalah berhutang kepada istri selama istrinya tetap taat kepadanya. Jika suatu hari suami dalam kondisi mampu maka wajib untuk melunasi hutang nafkah-nafkah tersebut.
Al-Muthií berkata :
إذا ثبت اعسار الزوج وخيرت بين ثلاثة أشياء: بين أن تفسخ النكاح وبين أن تقيم معه وتمكنه من الاستمتاع بها ويثبت لها في ذمته ما يجب على المعسر من النفقة …إلى أن يوسر، وبين أن يقيم على النكاح ولكن لا يلزمها أن تمكنه من نفسها، بل تخرج من منزله، لان التمكين انما يجب عليها ببذل النفقة
Jika benar bahwa sang suami tidak mampu maka istri diberi pilihan atas tiga perkara, (1) membatalkan pernikahan (2) tetap bertahan dengan sang suami dan membolehkannya untuk menggaulinya sehingga sang suami menanggung hutang nafkah…hingga ia mendapatkan kelapangan, dan (3) ia tetap dalam tali pernikahan akan tetapi tidak wajib baginya untuk melayani untuk digauli suaminya, bahkan ia boleh keluar dari rumahnya. Karena menyerahkan diri untuk digauli hanyalah wajib jika ada nafkah” (Al-Majmuu’ 18/272)
2. Ia tidak wajib untuk menyerahkan dirinya kepada suaminya jika suaminya meminta untuk menggaulinya.
Ibnu Qudamah berkata :
فَصْلٌ: إذَا رَضِيَتْ بِالْمُقَامِ مَعَ ذَلِكَ، لَمْ يَلْزَمْهَا التَّمْكِينُ مِنْ الِاسْتِمْتَاعِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يُسَلِّمْ إلَيْهَا عِوَضَهُ، فَلَمْ يَلْزَمْهَا تَسْلِيمُهُ، كَمَا لَوْ أَعْسَرَ الْمُشْتَرِي بِثَمَنِ الْمَبِيعِ، لَمْ يَجِبْ تَسْلِيمُهُ إلَيْهِ، وَعَلَيْهِ تَخْلِيَةُ سَبِيلِهَا، لِتَكْتَسِبَ لَهَا، وَتُحَصِّلَ مَا تُنْفِقُهُ عَلَى نَفْسِهَا؛ لِأَنَّ فِي حَبْسِهَا بِغَيْرِ نَفَقَةٍ إضْرَارًا بِهَا، وَلَوْ كَانَتْ مُوسِرَةً، لَمْ يَكُنْ لَهُ حَبْسُهَا؛ لِأَنَّهُ إنَّمَا يَمْلِكُ حَبْسهَا إذَا كَفَاهَا الْمُؤْنَةَ، وَأَغْنَاهَا عَمَّا لَا بُدَّ لَهَا مِنْهُ،
“Jika sang istri ridho/rela untuk tinggal bersama sang suami (yang tidak memberi nafkah) maka tidak wajib bagi sang wanita untuk menyerahkan dirinya untuk digauli, karena sang suami tidak memberikan “ganti (nafkah)” kepadanya maka sang wanita tidak wajib untuk menyerahkannya. Sebagaimana jika seorang pembeli tidak mampu untuk menyerahkan harga barang maka penjual tidak wajib untuk menyerahkan barangnya kepada pembeli. Karenanya wajib bagi sang suami untuk membiarkan sang istri untuk bekerja agar memperoleh nafkah untuk dirinya. Karena menahan sang wanita tanpa menafkahinya adalah memberi kemudorotan kepadanya. Bahkan meskipun sang wanita ternyata berkecukupan maka sang suami tidak berhak untuk menahannya, karena suami hanya berhak menahan istrinya jika ia telah memenuhi kebutuhan istrinya dan mencukupinya pada perkara-perkara yang primer” (al-Mughni 8/207)
Asy-Syirozi berkata :
Loading...
وَإِنِ اخْتَارَتِ الْمُقَامَ بَعْدَ الإِعْسَارِ لَمْ يَلْزَمْهَا التَّمْكِيْنُ مِنَ الاِسْتِمْتَاعِ وَلَهَا أَنْ تَخْرُجَ مِنْ مَنْزِلِهِ لِأَنَّ التَّمْكِيْنَ فِي مُقَابَلَةِ النَّفَقَةِ فَلاَ يَجِبُ مَعَ عَدَمِهَا
“Jika sang istri memilih untuk tetap tinggal bersama sang suami setelah kondisi ketidak mampuan sang suami maka tidak wajib bagi sang istri untuk menyerahkan dirinya kepada sang suami untuk digauli. Dan sang istri berhak untuk keluar dari rumah sang suami, karena menyerahkan diri untuk digauli adalah sebagai bentuk balasan dari nafkah, maka tidak wajib jika tidak ada nafkah” (Al-Muhaddzab fi Fiqhi Al-Imam Asy-Syafií 3/155 dan al-Majmuu’ 18/271)
Perkara di atas berkaitan dengan hukum syarí yang boleh dilakukan oleh soerang istri yang tidak dinafkahi suaminya, akan tetapi bagaimanapun seorang istri hendaknya berusaha mempertahankan tali pernikahan dengan tetap harmonis , terutama jika suami tidak bisa memberi nafkah karena ketidakmampuannya setelah ia berusaha keras untuk bekerja atau mencari pekerjaan. Hendaknya seorang istri mengingat kebaikan-kebaikan suami yang lampau, tatkala suami masih dalam kondisi mampu ekonominya. Ingatkan suami untuk menambah ketakwaan kepada Allah agar Allah membuka pintu-pintu rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Namun jika kondisi tidak memungkinkan maka secara syar’i boleh bagi sang wanita melakukan pilihan-pilihan di atas, wallahu a’lam.
DIjawab oleh: Ustadz Firanda Andirja/ruangmuslimah.co